Persidangan sengketa merek M6 antara BMW dan BYD di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah dimulai. Kasus ini menyoroti sistem pendaftaran merek di Indonesia, yang didasarkan pada prinsip “first to file”. Mari kita telusuri lebih dalam mengenai sistem ini dan implikasinya pada kasus BMW vs BYD.
Sistem “first to file” menetapkan bahwa siapapun yang pertama mendaftarkan merek, dialah yang berhak atas merek tersebut. Namun, prinsip ini memiliki pengecualian. Jika ada bukti itikad tidak baik atau merek tersebut merupakan merek terkenal, maka prinsip ini dapat dikesampingkan. Proses keberatan dapat diajukan selama masa publikasi permohonan merek.
Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis mengatur hal ini. Selain prinsip “first to file”, Undang-Undang tersebut juga mengadopsi prinsip teritorial, yang berarti perlindungan merek hanya berlaku di wilayah Indonesia. Perlindungan merek di Indonesia bersifat teritorial, artinya hanya berlaku di wilayah Indonesia. Jadi, kepemilikan merek di suatu negara tidak otomatis memberikan perlindungan di negara lain.
Sistem Pendaftaran Merek di Indonesia
Indonesia menganut sistem pendaftaran merek yang bersifat konstitutif, yaitu “first to file”. Perlindungan hukum atas merek baru diperoleh setelah merek tersebut didaftarkan dan diterbitkan sertifikatnya. Proses pendaftaran melibatkan tahapan pemeriksaan formal dan substansial oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM RI. Tahap pemeriksaan substansial meliputi pemeriksaan kesamaan dan kemiripan dengan merek lain yang telah terdaftar.
Sistem ini berbeda dengan sistem deklaratif (“first to use”), di mana hak atas merek ditentukan berdasarkan penggunaan merek tersebut terlebih dahulu. Meskipun Indonesia menganut “first to file”, praktiknya memungkinkan pengajuan keberatan jika ada bukti penggunaan merek terlebih dahulu oleh pihak lain, atau adanya itikad tidak baik. Perlu diingat, perlindungan merek tidak otomatis diberikan hanya karena penggunaan merek tersebut.
Kasus BMW vs BYD: Merek M6
Dalam kasus BMW vs BYD, BMW AG telah mendaftarkan merek M6 jauh lebih dulu, sejak 20 Agustus 2015, untuk kategori kendaraan bermotor. BYD kemudian mengajukan permohonan pendaftaran merek M6 pada 22 November 2024, untuk kategori yang sama. BMW berpendapat bahwa penggunaan merek M6 oleh BYD merupakan pelanggaran hak merek mereka.
BMW, sebagai pemilik sah merek M6, telah mengambil langkah hukum untuk melindungi hak merek mereka. Gugatan telah diajukan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. BYD telah membenarkan adanya gugatan dan menyatakan sedang ditangani oleh divisi hukum mereka. Hasil persidangan ini akan menjadi preseden penting bagi perlindungan merek di Indonesia.
Prosedur Keberatan dan Gugatan Pembatalan
Mekanisme hukum di Indonesia menyediakan dua jalur untuk menangani sengketa merek. Pertama, melalui prosedur keberatan yang diajukan selama masa publikasi permohonan merek. Keberatan ini dapat diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh pendaftaran merek tersebut. Kedua, melalui gugatan pembatalan merek di Pengadilan Niaga.
Gugatan pembatalan merek dapat diajukan jika terdapat alasan hukum yang kuat, misalnya adanya pelanggaran hak merek, itikad tidak baik, atau merek tersebut telah dikenal luas oleh publik. Proses ini memerlukan bukti-bukti yang kuat untuk mendukung klaim pemohon. Proses hukum ini biasanya membutuhkan waktu yang cukup panjang dan biaya yang tidak sedikit.
Kesimpulan
Kasus BMW vs BYD menunjukkan pentingnya memahami sistem pendaftaran merek di Indonesia dan prosedurnya. Meskipun sistem “first to file” diutamakan, pengajuan keberatan dan gugatan pembatalan tetap menjadi opsi hukum bagi pihak yang merasa hak mereknya dilanggar. Perusahaan perlu memahami seluk-beluk hukum kekayaan intelektual untuk melindungi aset merek mereka. Langkah proaktif dalam pendaftaran dan perlindungan merek sangat penting untuk mencegah sengketa di kemudian hari.
Perkembangan teknologi dan tren pasar yang dinamis membuat perlindungan kekayaan intelektual menjadi semakin krusial. Perusahaan perlu memperhatikan aspek legalitas merek mereka, baik di pasar domestik maupun internasional. Konsultasi dengan ahli hukum kekayaan intelektual sangat dianjurkan untuk memastikan perlindungan merek yang optimal.