Presiden Amerika Serikat Donald Trump, selama masa jabatannya, kerap menjanjikan pembatasan pengungsi. Namun, ia membuat pengecualian bagi warga kulit putih Afrika Selatan, yang disebutnya menghadapi “genosida.” Keputusan ini menimbulkan kontroversi dan pertanyaan mendalam tentang motif sebenarnya di balik kebijakan tersebut. Sebanyak 59 pengungsi kulit putih dari Afrika Selatan tiba di Amerika Serikat melalui prosedur kilat, yang difasilitasi oleh pemerintah Trump.
Pemerintah Trump mengklaim warga kulit putih Afrika Selatan ini sebagai korban kebijakan “berorientasi rasial” di negara asal mereka. Klaim ini menjadi dasar pembenaran pemberian status pengungsi khusus bagi kelompok tersebut. Namun, tuduhan “genosida” yang dilontarkan Trump menuai kecaman dan penolakan dari berbagai pihak.
Kebohongan tentang “Genosida”
Pernyataan Trump merespons undang-undang reformasi agraria baru di Afrika Selatan yang ditandatangani Presiden Cyril Ramaphosa pada Januari 2025. Undang-undang ini mengatur prosedur perampasan lahan pribadi dan skema kompensasinya. Trump menyebut situasi ini sebagai “genosida,” sebuah klaim yang langsung dibantah oleh berbagai pihak di Afrika Selatan.
Tessa Dooms, sosiolog dan direktur lembaga pemikir Rivonia Circle di Johannesburg, menyebut klaim Trump sebagai “kebohongan, narasi palsu, dan propaganda.” Dooms menekankan tidak adanya perampasan tanah besar-besaran terhadap warga kulit putih. Narasi “genosida terhadap orang kulit putih” memang telah lama beredar di kalangan Afrikaaner, kelompok keturunan Eropa yang mewakili sekitar 7% populasi Afrika Selatan. Narasi ini mengklaim pembunuhan sistematis petani kulit putih. Namun, menurut Dooms, klaim ini tidak berdasar.
Meskipun Afrika Selatan memiliki tingkat pembunuhan yang tinggi, korban terbanyak tetap berasal dari warga kulit hitam, terutama pria muda. Perempuan kulit hitam bahkan menghadapi risiko pembunuhan yang jauh lebih tinggi daripada petani kulit putih.
Pemerintah Afrika Selatan Membantah Tuduhan Persekusi
Menteri Hubungan Internasional Afrika Selatan, Ronald Lamola, juga membantah keras klaim Trump. Lamola menunjuk pada berbagai statistik nasional dan laporan kepolisian yang tidak mendukung tuduhan persekusi berdasarkan ras. Ia menegaskan tidak ada persekusi terhadap warga kulit putih Afrikaaner di Afrika Selatan.
Dooms menambahkan bahwa tidak ada reformasi agraria besar-besaran yang sedang terjadi. Sekitar 80% lahan pertanian milik swasta masih dikuasai warga kulit putih, warisan dari era kolonialisme dan apartheid. Namun, undang-undang baru memberikan kerangka hukum untuk pengambilalihan tanah hanya jika diperlukan untuk kepentingan umum, misalnya pembangunan jalan. Undang-undang serupa juga ada di banyak negara, termasuk Amerika Serikat.
Trump dan penasihat dekatnya, Elon Musk, menganggap undang-undang baru tersebut sebagai upaya distribusi ulang yang tidak adil terhadap warga kulit putih. Pemerintah Afrika Selatan menolak keras tuduhan ini.
Perlindungan dalam Reformasi Agraria dan Motif Politik
Para pakar kebijakan dan migrasi melihat langkah Trump sebagai bagian dari agenda politik berbasis narasi palsu dan kepentingan geopolitik. Zainab Usman dan Anthony Carroll dari Carnegie Endowment menyebut undang-undang redistribusi tanah di Afrika Selatan sebagai upaya mengatasi ketimpangan historis.
Meskipun ada kritik tentang kurangnya keterlibatan aktor politik lain dalam proses legislasi, konstitusi Afrika Selatan tetap melindungi warga dari penyitaan sewenang-wenang. Lebih dari 67.000 warga Afrika Selatan telah mendaftar untuk pindah ke AS, tetapi pakar migrasi meragukan ketakutan akan diskriminasi sebagai alasan utama. Banyak Afrikaaner melihat ini sebagai kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup.
Trump mengklaim kebijakan pengambilalihan tanah sebagai “genosida terhadap orang kulit putih,” tetapi kenyataan di lapangan berbeda. Beberapa warga Afrikaaner bahkan mengakui tidak mengalami persekusi. Langkah Trump dinilai sebagai “komplotan politik” oleh beberapa pihak, terkait dengan gugatan genosida yang diajukan Afrika Selatan terhadap Israel. Hubungan AS dan Afrika Selatan memang telah lama tegang, terutama karena kedekatan Pretoria dengan negara-negara BRICS.
Ketegangan meningkat setelah gugatan ke Mahkamah Internasional dan mencapai titik terendah setelah Trump kembali menjabat. Ia menangguhkan bantuan luar negeri untuk Afrika Selatan, termasuk dana penanggulangan AIDS, sementara memberikan pengecualian imigrasi khusus bagi Afrikaaner. Pengaruh Elon Musk dalam membentuk persepsi Trump juga menjadi sorotan.
Di Amerika Serikat sendiri, langkah Trump ini dilihat sebagai upaya untuk menarik simpati kelompok nasionalis kanan yang meyakini warga kulit putih AS juga menjadi korban diskriminasi. Pilihan Afrika Selatan sebagai target dianggap berkaitan dengan kedekatan Trump dengan tokoh-tokoh kunci yang memiliki ikatan kuat dengan negara tersebut, seperti Elon Musk, David O. Sacks, dan Peter Thiel. Pengalaman para tokoh ini selama dan setelah era apartheid membentuk narasi ideologis tersendiri.
Dengan menjadikan Afrika Selatan sebagai panggung narasi global tentang ‘diskriminasi terhadap kulit putih,’ Trump tampaknya tengah memainkan geopolitik luar negeri dan juga strategi politik dalam negeri. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang keadilan, etika, dan motif politik di balik kebijakan imigrasi yang kontroversial tersebut. Kejadian ini menjadi pelajaran penting tentang bagaimana narasi palsu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik.