Wacana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk mengirim siswa nakal ke barak TNI menuai kontroversi. Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menilai rencana tersebut tidak tepat dan perlu ditinjau kembali.
Atnike mempertanyakan kewenangan TNI dalam menjalankan pendidikan kewarganegaraan. Ia menekankan pentingnya proses hukum yang benar dalam menangani kenakalan remaja.
Kewenangan TNI dan Proses Hukum
Atnike Nova Sigiro secara tegas menyatakan bahwa pendidikan kewarganegaraan bukanlah kewenangan TNI. TNI memiliki peran dan fungsi yang berbeda dalam konteks penegakan hukum.
Mengirim siswa nakal ke barak TNI sebagai hukuman dianggapnya berada di luar koridor hukum yang berlaku. Hal ini dinilai tidak sesuai dengan prosedur hukum yang seharusnya diterapkan untuk anak di bawah umur.
Penanganan kenakalan remaja harus mengikuti jalur hukum yang berlaku, khususnya bagi anak di bawah umur yang memiliki hak-hak khusus yang dilindungi undang-undang.
Alternatif Pendidikan Karakter
Atnike menjelaskan bahwa pelibatan TNI dalam pendidikan dapat dilakukan dalam konteks pendidikan karier. Misalnya, siswa diperkenalkan pada tugas dan peran TNI, bukan menjalani pendidikan militer.
Kegiatan seperti kunjungan ke markas TNI untuk pemahaman tugas dan fungsi dianggap lebih tepat. Hal ini berbeda dengan mengirim siswa ke barak sebagai bentuk hukuman.
Pembelajaran di lingkungan militer hanya tepat jika bagian dari program pendidikan karier, seperti kunjungan ke berbagai instansi termasuk rumah sakit, perkebunan, atau restoran.
Tanggapan Gubernur Jawa Barat
Gubernur Dedi Mulyadi berpendapat bahwa program ini bertujuan untuk memberikan pendidikan karakter bagi siswa yang sulit dibina. Program ini akan melibatkan TNI dan Polri.
Siswa yang dimaksud adalah mereka yang terlibat dalam pergaulan bebas atau tindakan kriminal, dan orang tuanya dinilai tidak mampu lagi membina anaknya.
Dedi Mulyadi menambahkan bahwa program serupa telah diterapkan di Purwakarta. Sebanyak 39 siswa telah mengikuti pendidikan karakter di markas TNI dengan persetujuan orang tua.
Ia menjelaskan bahwa orang tua siswa harus memberikan persetujuan sebelum anaknya mengikuti program tersebut. Hal ini untuk memastikan adanya kerjasama antara sekolah, orang tua, dan pihak TNI.
Perdebatan mengenai rencana Gubernur Jawa Barat ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara pembinaan karakter siswa dan penghormatan terhadap proses hukum yang berlaku. Diperlukan solusi yang tepat untuk menangani kenakalan remaja tanpa mengabaikan hak-hak anak dan kewenangan lembaga terkait.
Diskusi terbuka dan kolaborasi antar berbagai pihak, termasuk Komnas HAM, TNI, pemerintah daerah, dan ahli pendidikan, sangat penting untuk menemukan solusi yang efektif dan berkelanjutan.