Konflik di Gaza yang telah berlangsung hampir 19 bulan telah mendorong warga ke ambang keputusasaan. Blokade Israel selama dua bulan terakhir terhadap semua pasokan bantuan kemanusiaan dan komersial semakin memperparah penderitaan mereka, di tengah berlangsungnya pengeboman Israel.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran mendalam akan masa depan. Kelangkaan makanan dan ketakutan akan serangan udara telah menciptakan krisis kemanusiaan yang mengerikan.
‘Tak Ada Tempat Aman’ di Gaza
Ahmad Qattawi, warga Gaza, menggambarkan situasi tersebut sebagai tragedi yang tak terbayangkan. Kehidupan sehari-hari dipenuhi dengan perjuangan untuk bertahan hidup, di tengah ancaman konstan serangan bom dan kelangkaan makanan.
Ia menjelaskan bagaimana warga Gaza berjuang untuk mendapatkan makanan setiap hari, menyimpan persediaan seadanya untuk beberapa hari ke depan. Makanan dikonsumsi dengan hemat.
Lembaga-lembaga bantuan internasional telah memperingatkan tentang peningkatan risiko malnutrisi dan kelaparan. Penutupan toko roti, lonjakan harga bahan makanan pokok, dan penutupan perbatasan secara terus-menerus memperburuk situasi.
Sayuran masih tersedia, tetapi harganya sangat tinggi dan tak terjangkau bagi sebagian besar penduduk. Harga tomat, misalnya, melonjak drastis dari 1-3 shekel menjadi sekitar 30 shekel per kilogram. Harga gula pun mencapai lebih dari 60 shekel per kilogram.
Amjad Shawa, Direktur Jaringan Organisasi Nonpemerintah Palestina (PNGO), menyebut situasi ini sebagai bencana. Tidak ada tempat aman di Gaza, serangan udara, artileri, dan serangan ke tenda-tenda pengungsian terjadi secara terus menerus.
Shawa menambahkan bahwa rasa terdesak dan terpojok begitu terasa. Sebagai pekerja kemanusiaan, ia dan timnya merasa tidak berdaya karena keterbatasan kemampuan untuk membantu.
Sistem Kesehatan Gaza di Ambang Kehancuran
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menyatakan sistem layanan kesehatan Gaza berada di ambang kehancuran. Sistem tersebut kewalahan menangani korban massal dan terhambat oleh blokade total yang menghentikan pasokan obat-obatan, vaksin, dan peralatan medis.
Badan Pangan Dunia (WFP) juga mengumumkan kehabisan stok makanan untuk Gaza. Persediaan terakhir telah disalurkan ke dapur umum dan tukang roti.
Pada akhir Maret, semua 25 tukang roti yang didukung WFP terpaksa tutup karena kehabisan tepung terigu dan bahan bakar. Paket makanan WFP untuk keluarga pun telah habis.
Kekhawatiran akan kekurangan air bersih dan bahan bakar semakin menambah penderitaan warga Gaza. Banyak yang terpaksa mencari bahan bakar apa saja untuk memasak.
Kehidupan di Bawah Bayang-Bayang Ketakutan
Mahmoud Hassouna, warga Kota Khan Younis, menggambarkan kekhawatirannya akan bagaimana menghidupi keluarganya. Rumahnya hancur akibat serangan bom, dan ia kini mengungsi.
Ia menghabiskan hari-harinya di sekitar rumah darurat, membantu ibunya menyiapkan makanan seadanya. Mereka bergantung pada makanan kaleng karena tak mampu membeli sayuran.
Mahmoud juga bertugas mencari kayu bakar, sebuah tugas yang semakin sulit karena banyak pohon telah ditebang atau hancur. Banyak warga nekat memasuki rumah-rumah yang hancur untuk mencari kayu.
Ia mengaku telah hidup hampir dua tahun di bawah bayang-bayang bom, pembunuhan, dan kematian. Pengalaman tersebut telah mengubah dirinya.
Gencatan senjata sementara yang berlangsung dari Januari hingga Maret 2025 memberikan sedikit kelegaan. Namun, situasi kembali memburuk ketika Israel kembali melancarkan serangan pada 18 Maret 2025.
Israel menutup semua perlintasan perbatasan dan menghentikan pengiriman bantuan kemanusiaan dan komersial ke Gaza. Hal ini merupakan bagian dari strategi “tekanan maksimum” untuk memaksa Hamas membebaskan sandera.
Israel menuduh Hamas mencuri bantuan kemanusiaan dan menggunakannya untuk keperluan militer. Hamas menolak tuntutan tersebut dan menuntut diakhirinya perang.
Jumlah korban tewas di Gaza telah melampaui 52.000 jiwa, sementara ribuan lainnya diperkirakan terkubur di bawah reruntuhan.
PBB dan lembaga bantuan internasional menuduh Israel menggunakan bantuan kemanusiaan sebagai alat politik, sebuah tindakan yang berpotensi merupakan kejahatan perang.
Wakil Sekretaris Jenderal PBB, Tom Fletcher, mengingatkan bahwa Israel sebagai kekuatan pendudukan wajib mengizinkan akses bantuan kemanusiaan. Bantuan tidak boleh dijadikan alat tawar-menawar.
Populasi Gaza sangat bergantung pada bantuan dan pasokan komersial dari luar. Tindakan militer Israel telah membuat warga mengungsi dan kehilangan akses ke lahan pertanian subur.
Gavin Kelleher, pekerja kemanusiaan Dewan Pengungsi Norwegia, menyatakan Israel tidak hanya menghalangi masuknya makanan, tetapi juga menciptakan kondisi yang membuat warga Palestina tidak bisa memproduksi makanan sendiri.
Warga Gaza juga melaporkan penjarahan gudang dan situasi keamanan internal yang rapuh.
Laporan OCHA menyebutkan lebih dari 423.000 orang di Gaza kembali mengungsi tanpa tempat aman. Mahmoud Hassouna hanya berharap perang segera berakhir dan ia tidak perlu lagi mengungsi.
Artikel ini merupakan adaptasi dari artikel berbahasa Inggris.