Rencana pemerintah membuka kembali moratorium pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Arab Saudi menuai kekhawatiran. Anggota Komisi IX DPR RI, Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz, mengingatkan perlunya kehati-hatian dalam langkah ini, mengingat potensi munculnya masalah baru jika tidak disiapkan dengan matang.
Dalam Rapat Kerja Komisi IX bersama Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI), Neng Eem menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan yang selama ini dinilai lemah. Hal ini terbukti dari masih banyaknya PMI yang berangkat ke Arab Saudi secara ilegal.
Potensi Masalah Baru di Balik Pencabutan Moratorium
Neng Eem menyatakan bahwa pencabutan moratorium, yang diberlakukan sejak 2011, tidak serta-merta menyelesaikan masalah. Sebaliknya, langkah ini justru berpotensi memicu masalah baru jika pemerintah tidak mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik.
Data menunjukkan sejak moratorium diberlakukan, tercatat sekitar 185 ribu PMI berangkat secara ilegal ke Arab Saudi. Angka ini menunjukkan kelemahan sistem pengawasan dan celah besar dalam sistem migrasi tenaga kerja Indonesia.
Perlindungan Hukum PMI, Khususnya Perempuan, Masih Lemah
Selain masalah pengawasan, Neng Eem juga menyoroti lemahnya perlindungan hukum bagi PMI, khususnya perempuan yang bekerja di sektor domestik. Banyak kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang tidak ditangani secara adil di Arab Saudi.
Sementara itu, PMI yang dituduh melakukan pelanggaran justru sering menerima hukuman berat. Kondisi ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah Indonesia untuk bernegosiasi dengan pemerintah Arab Saudi guna melindungi PMI.
Diplomasi yang Tegas dan Jaminan Keadilan, Kunci Utama
Neng Eem menilai, jika sistem hukum di Arab Saudi belum mampu menjamin keadilan bagi PMI, rencana pengiriman kembali pekerja perempuan sebaiknya ditinjau ulang. Ia bahkan mencontohkan Qatar yang melarang warganya bekerja di Arab Saudi karena pertimbangan stabilitas hukum.
Pemerintah didesak untuk mengedepankan diplomasi bilateral maupun multilateral yang tegas untuk menciptakan perjanjian yang melindungi PMI. Tanpa pembenahan serius, penghapusan moratorium hanya akan mengulang pola lama.
Ia menekankan perlunya negosiasi yang kuat untuk memastikan perlindungan hak-hak PMI, termasuk akses keadilan yang sama dan perlindungan dari eksploitasi. Tanpa jaminan tersebut, membuka moratorium justru akan membahayakan para PMI.
Secara keseluruhan, Neng Eem berharap pemerintah mempertimbangkan secara matang rencana pencabutan moratorium. Prioritas utama adalah memastikan perlindungan dan kesejahteraan PMI, bukan semata-mata mengejar keuntungan ekonomi.
Dengan memperkuat pengawasan, menjamin perlindungan hukum yang memadai, serta melakukan diplomasi yang efektif, pemerintah dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan berkeadilan bagi PMI di Arab Saudi.
Keberhasilan pencabutan moratorium bergantung pada komitmen pemerintah untuk memperbaiki kelemahan sistem yang ada dan menempatkan keselamatan dan kesejahteraan PMI sebagai prioritas utama. Tanpa itu, risiko terulangnya masalah akan sangat tinggi.