Perang Vietnam, konflik militer yang panjang dan berdarah di abad ke-20, telah berakhir 50 tahun lalu. Perang ini meninggalkan dampak yang mendalam, tidak hanya pada hubungan internasional, tetapi juga pada jiwa manusia yang terlibat.
Berlangsung dari tahun 1955 hingga 1975, perang ini menelan sekitar 3,8 juta korban jiwa. Kemenangan komunis di Vietnam Utara atas Vietnam Selatan yang didukung Amerika Serikat menandai berakhirnya konflik dan penyatuan kembali negara yang kini dikenal sebagai “Naga Biru”.
Sindrom Pasca-Vietnam: Luka Batin yang Tak Tampak
Jauh sebelum Perang Vietnam, para prajurit telah mengalami dampak psikologis jangka panjang akibat pengalaman perang. Kondisi ini, yang dikenal sebagai “getaran perang” di Jerman, ditandai dengan gejala fisik dan mental seperti serangan panik dan penolakan makan.
Dunia medis saat itu belum memahami kondisi ini dengan baik, seringkali menganggapnya sebagai kepura-puraan. Namun, Perang Vietnam menjadi titik balik dalam pengakuan atas dampak psikologis perang.
Pada 1972, psikiater Chaim F. Shatan menulis laporan di *New York Times* tentang “Sindrom Pasca-Vietnam”. Laporan ini menggambarkan gejala seperti rasa bersalah, isolasi sosial, dan ketidakmampuan untuk mencintai.
Mengungkap Luka Tak Terlihat: PTSD dan Pengakuannya
Pengakuan atas trauma perang terus berkembang. Baru pada 1980-an, gangguan stres pascatrauma (PTSD) diakui secara resmi oleh Asosiasi Psikiatri Amerika.
Sebuah studi tahun 1983 menunjukkan 15% veteran Vietnam mengalami PTSD, atau lebih dari 400.000 orang. Studi lanjutan 40 tahun kemudian menunjukkan angka yang masih signifikan, dengan tingkat kematian dua kali lebih tinggi pada veteran yang menderita PTSD.
Meskipun PTSD dapat diobati dan mereda seiring waktu, situasinya berbeda di Vietnam. Sejarawan Martin Groheim mencatat bahwa trauma pada tentara Vietnam jarang dibicarakan.
Hal ini disebabkan oleh kontrol ketat Partai Komunis Vietnam (KPV) atas narasi perang, yang menekankan heroisme perjuangan melawan imperialisme.
Trauma Sosial dan Pemulihan Nasional
Meskipun dibungkam, trauma perang tetap ada. Novel *The Sorrow of War* (1987) karya Bao Ninh, seorang penulis dan mantan tentara Vietnam, menjadi bukti nyata.
Novel ini menggambarkan perjuangan tokoh utamanya dengan kenangan perang, ketergantungan alkohol, dan isolasi sosial. Buku ini dilarang setelah diterbitkan, mencerminkan sikap Vietnam terhadap dampak psikologis perang.
Profesor Jose Brunner dari Universitas Tel Aviv menekankan bahwa pemulihan trauma bukan hanya soal terapi individu, tetapi juga melibatkan seluruh masyarakat.
Proses pemulihan melibatkan beberapa dimensi: ritual mengenang, narasi populer tentang perang, rekonsiliasi antara pihak yang bertikai, dan pengakuan atas penderitaan fisik dan mental para prajurit.
Di Vietnam, peringatan 50 tahun berakhirnya perang dirayakan dengan parade dan pidato politik, namun tetap dalam kerangka narasi KPV.
Rekonsiliasi nasional masih belum merata. Sementara warga Amerika diterima kembali, penyatuan kembali dengan musuh Vietnam Selatan masih menjadi masalah besar.
Baru pada 2007, pemerintah Vietnam membuka akses ke pemakaman tentara Vietnam Selatan, memungkinkan keluarga untuk merawat makam mereka. Langkah lebih besar diperlukan, termasuk pencarian sisa-sisa jenazah tentara Vietnam Selatan yang hilang.
Bagi banyak orang Vietnam, pemakaman yang layak bagi para tentara adalah kunci untuk mencapai kedamaian sejati dan rekonsiliasi nasional.
Kisah Perang Vietnam, 50 tahun setelah berakhirnya konflik, masih menyisakan luka yang dalam dan kompleks, baik bagi individu maupun bangsa. Proses penyembuhan dan rekonsiliasi masih terus berlangsung, dan pemahaman atas dampak psikologis perang menjadi kunci penting dalam perjalanan menuju masa depan yang damai.
