Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri mengungkap praktik pengoplosan gas LPG bersubsidi 3 kilogram di Karawang dan Semarang. Pelaku memindahkan isi tabung gas melon bersubsidi ke tabung gas non-subsidi berukuran lebih besar, yaitu 12 kg.
Pengungkapan kasus ini berdasarkan informasi adanya kegiatan pemindahan isi gas LPG dari tabung 3 kg ke tabung 12 kg. Modus ini merugikan negara dan masyarakat.
Pengoplosan Gas Melon di Karawang: Keuntungan Miliaran Rupiah
Di Karawang, investigasi menemukan sebuah pangkalan gas yang digunakan sebagai kedok untuk mendapatkan LPG 3 kg bersubsidi. Pangkalan ini secara langsung melakukan praktik pengoplosan.
Isi tabung 3 kg dipindahkan ke tabung 12 kg menggunakan regulator modifikasi dan batu es. Dibutuhkan empat tabung 3 kg untuk mengisi satu tabung 12 kg.
Setelah diisi, tabung 12 kg dijual dengan harga non-subsidi. Isi tabung pun tidak sesuai standar, bahkan dikurangi.
Pelaku, pemilik gudang sekaligus pengoplos berinisial TN alias E, telah meraup keuntungan hingga Rp 1,2 miliar. Keuntungan bulanannya mencapai Rp 106.356.000.
Modus Operasi di Semarang: Jaringan Distribusi Luas
Kasus serupa juga terungkap di Semarang. Pelaku di Semarang melakukan penyelewengan LPG 3 kg bersubsidi dengan cara yang sama, yakni memindahkan isi gas ke tabung non-subsidi.
Tabung non-subsidi yang digunakan bervariasi, mulai dari 5,5 kg, 12 kg, hingga 50 kg. Gas bersubsidi kemudian dijual kembali dengan harga non-subsidi.
Tiga tersangka telah ditetapkan, yaitu FZSW alias A sebagai pemodal, dan DS serta KKI sebagai ‘dokter’ atau pengoplos. Mereka memiliki jaringan distribusi yang luas.
Para pelaku mampu mengoplos hingga 120 tabung gas ukuran 12 kg per hari. Penjualan dilakukan melalui sales yang sudah mereka kenal di Semarang Kota, Semarang Kabupaten, dan Temanggung.
Kerugian Negara dan Sanksi Hukum
Akibat tindakan para pelaku di Semarang selama enam bulan, negara mengalami kerugian subsidi LPG sebesar Rp 5,6 miliar. Angka ini merupakan perkiraan kehilangan subsidi yang seharusnya diterima masyarakat.
Para tersangka dijerat Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. Ancaman hukumannya adalah enam tahun penjara dan denda Rp 60 miliar.
Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan distribusi gas LPG bersubsidi untuk mencegah kerugian negara dan memastikan ketersediaan gas bagi masyarakat yang membutuhkan. Penegakan hukum yang tegas diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan serupa di masa mendatang.