Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (LPRI), melalui perwakilannya Syarifah Hayan, mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Banjarbaru. Gugatan tersebut meminta diskualifikasi pasangan calon Erna Lisa Halaby dan Wartono.
Sidang gugatan digelar pada Kamis, 15 Mei 2025 di Gedung MK, Jakarta Pusat. Terdapat dua gugatan terkait Pilkada Banjarbaru yang didaftarkan; nomor perkara 318/PHPU.WAKO-XXIII/2025 diajukan oleh Syarifah Hayan, dan nomor perkara 319/PHPU.WAKO-XXIII/2025 diajukan oleh Udiansyah, warga TPS 007 Kelurahan Sungai Besar.
Tuduhan Intimidasi dan Pencabutan Akreditasi
Syarifah Hayan, dalam persidangan, mengaku mengalami intimidasi dan tekanan. Salah satu bentuk intimidasi tersebut adalah pencabutan izin LPRI sebagai lembaga pemantau pemilih.
Ia menyatakan bahwa pencabutan akreditasi oleh KPU, Bawaslu, dan Gakkumdu menjelang sidang merupakan upaya untuk menghalangi proses hukum yang sedang dijalaninya.
Syarifah juga mengaku mendapat tekanan dari berbagai pihak agar mencabut gugatan. Namun, ia menegaskan komitmennya untuk tetap melanjutkan gugatan di MK.
Dugaan Pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM)
Kuasa hukum pemohon, Muhamad Pazri, menuding adanya pelanggaran TSM selama PSU Pilkada Banjarbaru yang dilakukan pasangan Erna-Wartono. Pelanggaran tersebut meliputi praktik politik uang, ketidaknetralan aparatur negara, dan intimidasi terhadap pemilih serta pemantau pemilu.
Pazri menyebut fenomena ini sebagai “DUIToktasi”, yakni demokrasi yang dirusak oleh politik uang dan intimidasi.
Pazri juga menyinggung keterlibatan direktur BUMN yang merupakan relawan pasangan calon tersebut dalam pelaksanaan PSU. Menurut perhitungannya, pasangan Erna-Wartono seharusnya hanya memperoleh 36.135 suara sah (31,5%), sementara suara tidak sah mencapai 78.736 (68,5%).
Kejanggalan dalam Pelaksanaan PSU dan Permintaan Pemohon
Denny Indrayana, kuasa hukum lainnya, menambahkan bahwa praktik politik uang terjadi hampir di seluruh kecamatan. Ia juga mencatat keterlibatan Ketua RT dalam kemenangan pasangan Erna-Wartono.
Beberapa kejanggalan lain dalam pelaksanaan PSU yang disoroti antara lain: tidak adanya panduan teknis di TPS untuk memilih antara calon tunggal dan kolom kosong; perbedaan DPT antara Pilkada 27 November 2024 dan PSU 19 April 2025; minimnya sosialisasi kepada pemilih; serta distribusi undangan memilih yang tidak merata.
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK membatalkan Keputusan KPU Kalimantan Selatan Nomor 69 Tahun 2025. Mereka juga meminta diskualifikasi pasangan Erna-Wartono dan meminta KPU RI untuk mengambil alih penyelenggaraan pemilihan ulang Walikota dan Wakil Walikota Banjarbaru pada 27 Agustus 2025, dengan mengulang seluruh tahapan pemilihan.
Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan ketat dalam proses pemilihan umum dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi. Hasil dari gugatan ini akan sangat menentukan arah Pilkada Banjarbaru selanjutnya dan memberikan preseden penting bagi penyelenggaraan pilkada di masa mendatang.