Fenomena truk ODOL (Over Dimension Over Loading) merupakan masalah serius di banyak negara, termasuk Indonesia. Truk ODOL membahayakan keselamatan di jalan raya dan mempercepat kerusakan infrastruktur. Kondisi ini sangat kontras dengan situasi di Jepang, yang hampir sepenuhnya bebas dari masalah truk ODOL.
Keberhasilan Jepang dalam menekan angka truk ODOL berkat penerapan regulasi yang sangat ketat dan sistem pengawasan yang terstruktur. Perbedaan mendasar terletak pada penegakan hukum dan konsekuensi pelanggaran yang jauh lebih serius di Jepang.
Bowo Kristianto dari Japan Indonesia Driving School (JIDS) menjelaskan, di Jepang, pemeriksaan berkala kendaraan dilakukan setiap tiga bulan oleh badan khusus yang memiliki lisensi. Sistem ini jauh lebih ketat dibandingkan sistem KIR di Indonesia. Setiap tiga bulan, truk harus menjalani pemeriksaan kelayakan jalan yang sangat detail.
Truk yang dinyatakan tidak layak jalan akan langsung dilarang beroperasi. Tidak ada toleransi untuk kendaraan yang tidak memenuhi standar keselamatan. Perusahaan pemilik truk yang melanggar regulasi akan menghadapi sanksi berat, termasuk pencabutan izin usaha. Hal ini menciptakan efek jera yang kuat bagi para pelaku usaha transportasi.
Sistem pemeriksaan yang ketat ini meminimalisir risiko kecelakaan dan kerusakan infrastruktur. Kemungkinan truk mogok di tengah perjalanan akibat kerusakan yang tidak terdeteksi menjadi sangat kecil. Hal ini berdampak positif pada keselamatan pengendara dan efisiensi operasional.
Selain regulasi yang ketat, budaya kepatuhan dan kesadaran akan keselamatan juga berperan penting. Sopir truk di Jepang memiliki pemahaman yang mendalam tentang pentingnya mematuhi peraturan lalu lintas. Perusahaan transportasi juga turut bertanggung jawab atas keselamatan kendaraan dan karyawannya.
Perusahaan di Jepang memiliki dana keselamatan kerja yang dipotong dari gaji sopir. Dana ini digunakan untuk menanggung biaya jika terjadi kecelakaan yang disebabkan oleh kelalaian sopir atau kerusakan kendaraan. Sistem ini menciptakan insentif bagi perusahaan dan sopir untuk mematuhi peraturan dan menjaga keselamatan.
Jika terjadi kecelakaan, perusahaan akan bertanggung jawab secara hukum dan finansial. Sistem ini menciptakan tanggung jawab yang jelas dan mendorong upaya pencegahan kecelakaan. Berbeda dengan di Indonesia, dimana penindakan terhadap pelanggaran ODOL masih belum optimal dan konsekuensinya seringkali tidak sebanding dengan risikonya.
Kesimpulannya, keberhasilan Jepang dalam mengatasi masalah truk ODOL merupakan hasil dari sinergi antara regulasi yang ketat, pengawasan yang efektif, kesadaran masyarakat, dan tanggung jawab perusahaan. Model ini bisa menjadi contoh bagi Indonesia untuk memperbaiki sistem pengawasan dan penegakan hukum di sektor transportasi guna meningkatkan keselamatan dan mengurangi kerusakan infrastruktur.
Sebagai tambahan, perlu dikaji lebih lanjut bagaimana sistem pelatihan dan sertifikasi bagi sopir truk di Jepang. Pelatihan yang komprehensif dan standar sertifikasi yang tinggi dapat memastikan bahwa sopir memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk mengoperasikan kendaraan berat secara aman dan bertanggung jawab.
Perlu juga dipertimbangkan bagaimana peran teknologi dalam pengawasan truk ODOL di Jepang. Penggunaan sistem monitoring berbasis GPS, sensor berat, dan kamera CCTV dapat meningkatkan efisiensi pengawasan dan deteksi pelanggaran.