Produsen mobil besar dunia gencar mengkampanyekan dukungan terhadap kendaraan listrik (EV). Namun, di balik pernyataan tersebut, muncul kecurigaan bahwa mereka tengah menerapkan strategi defensif untuk menutupi keengganan beralih sepenuhnya ke era EV. Klaim prioritas “pilihan konsumen” dianggap sebagai tameng untuk menghindari transisi yang lebih cepat menuju kendaraan ramah lingkungan.
Industri otomotif memang sedang berada di persimpangan jalan. Tekanan global untuk mengurangi emisi karbon memaksa perubahan besar-besaran, sementara produsen masih bergulat dengan profitabilitas dan tantangan teknologi baru.
Strategi Defensif: Pilihan Konsumen atau Kurangnya Inovasi?
Jurnalis otomotif Mack Hogan secara tegas menyatakan bahwa argumen “pilihan konsumen” hanyalah dalih. Produsen mobil, menurut Hogan, justru yang membatasi pilihan tersebut dengan sengaja. Mereka menghadirkan produk EV yang kurang menarik, pemasaran yang kurang agresif, lalu menyalahkan publik atas minimnya penjualan.
Sebagai perbandingan, pasar mobil bensin menawarkan beragam pilihan. General Motors, misalnya, memiliki delapan model SUV berbeda. Namun, jika beralih ke lini EV, pilihannya menyusut drastis. Kondisi serupa juga terjadi pada Ford, yang hanya menawarkan dua model EV dibandingkan puluhan model mobil bensinnya.
Keuntungan Besar dari Mesin Bensin: Hambatan Transisi EV
Hogan menggarisbawahi kenyamanan produsen mobil Amerika atas keuntungan besar dari penjualan truk dan SUV bermesin bensin selama satu dekade terakhir. Pengembangan EV, menurutnya, belum memberikan margin keuntungan yang setara.
Hal ini mendorong strategi yang lebih konservatif dalam pengembangan dan pemasaran kendaraan listrik. Investasi yang besar dan teknologi yang masih terus berkembang menjadi pertimbangan utama yang memengaruhi kecepatan transisi.
Menggiring Konsumen: Pemasaran yang Menentukan
Hogan menambahkan, industri otomotif telah lama membentuk selera pasar melalui iklan dan pemasaran yang agresif. Fitur all-wheel drive (AWD), misalnya, dulu hanya dibutuhkan segelintir orang, namun kini menjadi fitur dominan berkat promosi gencar yang lebih menekankan fantasi daripada fungsi sesungguhnya.
Strategi ini berbanding terbalik dengan penanganan produk EV. Kendaraan listrik yang “setengah matang” dilempar ke pasar tanpa dukungan pemasaran yang memadai. Dealer pun lebih bersemangat menjual mobil bensin yang lebih mudah dan menguntungkan.
Tesla sebagai Bukti: Kesuksesan EV Tergantung pada Produk dan Pemasaran
Kesuksesan Tesla Model Y, yang menjadi mobil terlaris di dunia pada 2023, memberikan gambaran yang berbeda. Penjualan mobil bensin global terus menurun sejak puncaknya pada 2017, menunjukkan bahwa jika produk EV dirancang dengan baik dan dipasarkan secara efektif, konsumen akan menerimanya.
Keengganan beralih ke EV, menurut Hogan, bukan hanya soal bisnis, tetapi juga soal tanggung jawab lingkungan. “Ini bukan soal kebebasan membeli V8, tapi soal kebebasan anak-anak untuk bernapas tanpa menderita asma karena emisi gas buang,” tegasnya.
Penjualan EV yang masih jauh dari target menunjukkan bahwa industri otomotif perlu melakukan perubahan fundamental. Bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal strategi pemasaran dan komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan. Keberhasilan Tesla membuktikan bahwa transisi ke era EV bukanlah hal yang mustahil, asalkan strategi yang tepat diterapkan. Masa depan industri otomotif bergantung pada kemampuannya untuk mengatasi hambatan yang ada dan memenuhi kebutuhan konsumen akan kendaraan listrik yang berkualitas dan terjangkau.