Polemik mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melampaui sekadar perdebatan dokumen akademik. Peristiwa ini menjadi ujian besar bagi rasionalitas publik, integritas lembaga pendidikan, dan kejujuran dalam berpolitik Indonesia. Universitas Gadjah Mada (UGM), almamater Jokowi, pun turut terseret dalam pusaran kontroversi yang mengancam kredibilitasnya.
Dua skenario ekstrem muncul. Jika tuduhan tersebut benar, maka sejarah kepemimpinan Indonesia perlu ditulis ulang. Sebaliknya, jika terbukti sebagai fitnah, UGM bukan hanya menjadi korban, tetapi juga simbol bagaimana kampus dapat menjadi sasaran politik kebencian.
Apabila Ijazah Presiden Jokowi Palsu
Terbukti atau tidaknya dugaan tersebut membawa konsekuensi serius. Jika ijazah Jokowi terbukti palsu, Indonesia menghadapi krisis konstitusional.
Legitimasi semua kebijakan, penunjukan pejabat, dan perundang-undangan yang telah ditandatangani presiden menjadi tanda tanya besar. Ini bukan hanya skandal pribadi, melainkan masalah yang berdampak sistemik.
UGM juga akan menghadapi dampak negatif. Reputasi universitas akan tercemar baik di tingkat nasional maupun internasional. Ini bisa berujung pada ancaman akreditasi internasional dan stigma negatif terhadap lulusan UGM di seluruh dunia.
Jika Tuduhan Tersebut Adalah Fitnah
Serangan terhadap Jokowi dan UGM bersifat sistematis dan berkelanjutan, bukan sekadar ujaran kebencian di media sosial. Aksi demonstrasi bahkan dilakukan di depan kediaman Jokowi.
Meskipun UGM telah memberikan bukti-bukti kuat atas status Jokowi sebagai alumni angkatan 1985, penuduh tetap menolaknya. Bagi UGM, ini adalah academic assassination—serangan terhadap reputasi kampus untuk kepentingan politik.
Klarifikasi biasa tidak cukup. UGM perlu mengambil tindakan hukum dan langkah-langkah akademik yang tegas untuk melawan fitnah ini. Hal ini sejalan dengan pandangan Prof. Lawrence Lessig, yang menekankan pentingnya kemampuan publik untuk membedakan fakta dan fiksi dalam menjaga demokrasi.
Beberapa langkah strategis yang dapat diambil UGM meliputi audit akademik terbuka, publikasi dokumen autentik Jokowi (jika diizinkan hukum), dan gugatan hukum terhadap penyebar fitnah.
Ketidakaktifan UGM akan menjadi pengkhianatan terhadap ilmu pengetahuan. Kampus harus menjadi benteng akal sehat di tengah gejolak demokrasi digital.
Pelajaran dari Kasus Serupa di Luar Negeri
Kasus serupa pernah terjadi di Taiwan dan Nigeria. Di Taiwan, Presiden Tsai Ing-wen menghadapi tuduhan serupa, namun LSE menanggapi secara sistematis dan transparan, meredam fitnah.
Sebaliknya, di Nigeria, Menteri Keuangan Kemi Adeosun terpaksa mundur karena surat bebas wajib militernya palsu. Kasus ini menunjukkan bahwa dunia akademik dan publik Nigeria tidak mentolerir pelanggaran integritas.
Kedua kasus ini menunjukkan peran penting kampus dalam krisis integritas. Jika ada kesalahan, tanggung jawab harus dijalankan. Jika difitnah, pembelaan harus dilakukan dengan tegas dan transparan.
Pertanyaan terhadap ijazah presiden yang sudah selesai menjabat mencerminkan rendahnya kualitas debat publik di Indonesia. Serangan terhadap kelulusan menggantikan kritik substansial.
Ruang digital telah menjadi lahan subur bagi penyebaran hoaks. Algoritma media sosial membuat fitnah lebih cepat menyebar daripada klarifikasi.
Institusi akademik merupakan benteng pertama demokrasi. Jika kampus tidak mampu membela diri, publik akan kehilangan acuan kebenaran.
UGM dihadapkan pada pilihan penting: membela martabat atau membiarkan fitnah menghancurkan sejarahnya. Apa pun hasilnya, kampus tidak boleh diam. Kegelapan republik akan lebih panjang jika cahaya kampus padam.
Penulis, Dr. Arfanda Siregar, M.Si, Ketua Akademik Senat Politeknik Negeri Medan, pernah kuliah di UGM. Ia menekankan pentingnya transparansi dan tindakan tegas dalam menghadapi kasus ini.