Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng), Anwar Hafid, baru-baru ini menyampaikan keluhannya terkait dampak buruk pertambangan di daerahnya kepada Komisi II DPR. Ia memprotes ketidakseimbangan antara kontribusi Sulteng terhadap pendapatan negara dengan dana bagi hasil yang diterima daerah tersebut.
Dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR, Kemendagri, dan sejumlah gubernur pada Selasa (29/4/2025), Anwar mengungkapkan bahwa Sulteng, sebagai salah satu penyumbang devisa terbesar di Indonesia, hanya mendapatkan dana bagi hasil (DBH) sebesar Rp 200 miliar per tahun. Angka ini dinilai sangat kecil dibandingkan dengan pendapatan negara dari sektor pertambangan di wilayahnya.
Dana Bagi Hasil Tak Seimbang dengan Kontribusi Sulteng
Anwar mencontohkan, Presiden menyebutkan terdapat Rp 570 triliun pendapatan negara dari pajak industri smelter di Sulteng. Namun, bagi hasil yang diterima daerah hanya Rp 200 miliar.
Ia menekankan disparitas yang signifikan antara kontribusi Sulteng terhadap pendapatan negara dan dana yang diterima daerahnya. Situasi ini dinilai sangat tidak adil bagi daerah yang sumber daya alamnya dieksploitasi secara besar-besaran.
Kerusakan Lingkungan Akibat Tambang yang Tak Terkendali
Anwar juga menyoroti kerusakan lingkungan yang parah di Sulteng akibat aktivitas pertambangan yang tak terkendali. Ia menggambarkan kondisi daerahnya yang “hancur-hancuran” karena pertambangan nikel yang massif.
Gubernur khawatir jika cadangan nikel di Sulteng habis, daerah tersebut akan menjadi “kota hantu”. Hal ini menunjukkan dampak jangka panjang yang sangat merugikan bagi daerah jika hanya bergantung pada sektor pertambangan tanpa memperhatikan keberlanjutan.
Anwar juga mengeluhkan kesulitan pemerintah daerah untuk mengontrol aktivitas pertambangan. Pengusaha tambang seringkali berlindung di balik izin usaha industri di kawasan industri khusus sehingga sulit untuk dikontrol.
Kebijakan Tax Holiday yang Merugikan Daerah
Anwar turut mengkritik kebijakan tax holiday bagi pengusaha tambang yang mencapai 25 tahun. Padahal, cadangan nikel di Morowali, salah satu pusat pertambangan nikel di Sulteng, diperkirakan hanya akan bertahan selama 10 tahun.
Ia menilai kebijakan ini merugikan daerah karena setelah masa tax holiday berakhir dan cadangan nikel habis, daerah tidak akan mendapatkan manfaat ekonomi yang berkelanjutan. Hal ini menunjukan perlunya evaluasi kebijakan tax holiday agar lebih berpihak pada daerah penghasil sumber daya alam.
Anwar berharap DPR dapat menindaklanjuti keluhannya dan mencari solusi untuk mengatasi ketidakseimbangan dana bagi hasil dan kerusakan lingkungan akibat pertambangan di Sulawesi Tengah. Ia juga meminta agar kebijakan perpajakan dan pertambangan dikaji ulang agar lebih adil dan berkelanjutan.
Pernyataan Gubernur Anwar mencerminkan pentingnya memperhatikan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Perlu ada mekanisme yang lebih adil dalam pembagian hasil pendapatan negara dari sektor sumber daya alam agar daerah penghasil turut merasakan manfaatnya secara berkelanjutan. Kajian mendalam terhadap kebijakan tax holiday juga sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan ekonomi daerah.
